rss


"Berfikir Positif Untuk Masa Depan Indonesia Yang Lebih Baik"

NKRI HARGA MATI

Rabu, 13 Februari 2013

Arillus Separator, Tak Lagi Berdarah Saat Kupas Biji Pala Pala

JAKARTA - Tahukah kamu, di balik kehangatan minyak biji pala, ada pengorbanan mereka yang mengupasnya? Betapa tidak, selama berjam-jam, para pengupas biji pala ini menggosok-gosokkan biji-biji pala di atas saringan kawat untuk memisahkan biji pala dari salutnya. 
Tidak jarang, kasarnya saringan kawat tersebut melukai tangan mereka. Dalam riset mereka, Rizki Maulaya, Bhekti Ayu Hidayati, Aris Adhi Permana, Yogi Akbar Ermansyah, dan Ina Rahmawati menemukan bahwa selain berisiko tinggi, cara tradisional pemisahan biji pala ini juga kurang efektif karena kapasitas pemisahan biji pala dari salutnya rendah. 
Kelima mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut sepakat, desain alat yang tidak ergonomis membuat para pengupas biji pala mudah kelelahan. Padahal, pemisahan biji pala dari salutnya barulah langkah awal pembuatan minyak biji pala. 

"Setiap jam, satu hingga empat pengupas biji pala hanya mampu memisahkan 30 kg biji pala dari salutnya," kata Rizki. Kelimanya pun merumuskan riset untuk menghasilkan teknologi aplikatif yang dapat membantu para perajin minyak biji pala. Hasil riset mereka di industri rumah tangga produsen minyak pala di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Bogor dituliskan dalam makalah berjudul "Ariius Separator, Alat Pemisah Biji Pala dan Salutnya". 
Riset ini pun disertakan dalam Tanoto Student Research Awards (TSRA) 2013 dan keluar sebagai juara kedua. Rizki menjelaskan, riset dan inovasi mereka bertujuan untuk menghasilkan alat yang mempermudah kerja dan mengurangi kelelahan pada pekerja pemisah biji pala dari salutnya. Alat ini juga diharapkan dapat meningkatkan kapasitas pemisahan dan efisiensi sekaligus menurunkan biaya pokok produksi. Menggunakan analisis kinematika crank-slider, Rizki dkk pun merancang desain mesin pemisah biji pala dari salutnya. "Desain mesin kami berkapasitas tinggi dengan menggunakan sumber tenaga motor listrik dan sistem transmisi sabuk-puli tiga tingkat," imbuhnya.

   

Dari hasil pengujian diketahui, mesin buatan mereka dapat memisahkan hingga 60 kg biji pala dari salutnya setiap jam. Dengan kata lain, dua kali lipat dari cara pemisahan manual. Selain itu, hanya diperlukan satu orang untuk mengoperasikan alat ini. Sementara dengan cara tradisional, butuh hingga empat orang untuk memisahkan 30 kg biji pala dari salutnya setiap jamnya. Dengan kata lain, mesin ini menciptakan efisiensi. "Untuk investasi, mesin ini membutuhkan biaya Rp3,5 juta. Tapi jika dihitung biaya pokok, perajin hanya mengeluarkan Rp106 per kilogram biji pala. 
Sedangkan pada cara manual, tiap perajin membayar tenaga pengupas Rp150 ribu, dan mengeluarkan biaya pokok Rp175 per kilogram biji pala," papar Rizki. Para perajin minyak biji pala yang menjadi mitra Rizki cs mengaku, alat buatan mereka sangat membantu. Rata-rata perajin menyebut, mereka tidak lagi kelelahan memisahkan biji pala dari salutnya. Selain itu, mesin ini juga mudah dioperasikan dan cenderung murah dalam hal biaya operasional. Keunggulan lainnya, hasil kupasan menggunakan mesin juga tidak memengaruhi kualitas minyak biji pala yang mereka hasilkan.(rfa)
Selengkapnya...

Irit Bahan Bakar dengan Bioetanol Heater

JAKARTA - Ide Ardhy Purwo Nugroho dan Muhammad Umar Safari, mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) serta Muhammad Umar, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (UA) ini cukup baik dan aplikatif. 
Mereka membuat alat yang dinamai Bioetanol Heater dalam upaya menanggulangi langkanya bahan bakar fosil. Ide pembuatan Bioetanol Heater ini dilatarbelakangi dengan pemilihan bioetanol sebagai alternatif bahan bakar ramah lingkungan. 
Menurut Ardhy, titik nyala bioetanol jauh lebih besar dibandingkan bensin sehingga penggunaannya pun disarankan dicampur dengan bensin. 
Umar mengimbuh, fakta itu mendorong mereka membuat alat untuk memanaskan Bioetanol sehingga lebih mudah mencapai titik nyala sempurna. "Dengan suhu yang ditingkatkan, bioetanol akan lebih mudah mencapai titik nyalanya, ketika masuk mesin dan terkena percikan api maka dengan mudah bioetanol terbakar," ujar Umar seperti dikutip dari laman Unair, Selasa (12/2/2013). 

Bioetanol Heater ini cukup sederhana, berwujud seperti tabung termos kecil dengan diameter 6 cm dan tinggi 10 cm. Di dalam tabung ini, ada elemen untuk memanaskan bioetanol dan pipa spiral tembaga untuk mengalirkan bioetanol hasil pemanasan tersebut ke karburator mesin. 

 

Inovasi ketiganya berhasil keluar sebagai juara I di ajang National Innovation Contest (NIC) 2013 yang dihelat oleh Institut Teknologi Bandung pada awal Januari lalu. Mereka berhasil mendapatkan nilai terbaik pada poin penilaian level inovasi, fungsi dan kegunaan, efisiensi biaya dan manufacturability. 
Ke depan, Ardhy dkk berencana untuk mengembangkan alat pemanas bioetanol itu. "Nantinya kami akan coba memanfaatkan panas knalpot sebagai pemanas, jadi tidak usah mengambil daya dari aki," tutur Ardhy. (Ahmad Rifky/Okezone)(//rfa) 

(Sumber)
Selengkapnya...

Senin, 28 Januari 2013

Iquteche, ECU Pertama Buatan Mahasiswa Indonesia

Gedung Rektorat, ITS Online - Nuansa liburan tidak menyurutkan semangat sekelompok mahasiswa yang berasal dari Laboratorium Sistem dan Otomasi Industri Jurusan Teknik Mesin ITS. Pasalnya, selain membuat mobil listrik, tim bernama Kelelawar ini, turut memperkenalkan karyanya yaitu Iquteche, ECU pertama buatan mahasiswa Indonesia. 
Tim kelelawar ini digawangi oleh 18 orang. Mereka terdiri dari mahasiswa serta alumni Jurusan Teknik Mesin yang dibantu Dr Muhammad Nur Yuniarto sebagai dosen pembimbing. 
Nama Iquteche memang tidak familiar. Maka, dalam acara launching, Yuniarto turut menerangkan nama ECU tersebut. ''Iquteche sendiri bisa juga dibaca iki uteke (Jawa, red). Hal tersebut dapat berarti alat yang merupakan otak dari mesin dan juga dapat bermakna orang yang membuat lebih menonjolkan otak daripada otot,'' kata Yuniarto seraya tersenyum. 

Hebatnya, mereka membuat dua versi ECU Iquteche sekaligus. Pertama, versi harian yang cocok digunakan pada sepeda motor sport. Sedangkan versi lainnya adalah ECU versi balap (road race) yang dapat digunakan pada setiap jenis sepeda motor bebek. 


Uji coba pun telah dilakukan pada ECU Iquteche, yang risetnya telah dirintis sejak tahun 2010 ini. Secara konsisten, performa iquteche unggul berada di atas ECU/ECM standar yang rata-rata mengalami kenaikan 0,5-1 horsepower di setiap putaran mesin motor tipe sport. 
Tak hanya itu, untuk tipe bebek, Iquteche berhasil melayani kebutuhan bahan bakar dan berhasil memberikan daya maksimal sebesar 13 horsepower dengan putaran mesin maksimal hingga diatas 15.000 rpm (rotation perminute). 
Sayangnya, Iquteche tidak ikut ditampilkan dalam acara yang turut dihadiri Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan (Mendikbud) Republik Indonesia (RI), Prof Ir Muhammad Nuh, DEA. ''Iquteche saat ini masih berada di Laboratorium Sistem dan Otomasi Industri,'' ungkap Grangsang Sotyaramadhani, salah satu anggota dari tim Kelelawar. (sha/nir) 

(Sumber)
Selengkapnya...

EC-ITS 1.0, Karya ITS untuk Indonesia

Rektorat ITS, ITS Online - Nuh menjelaskan lahirnya EC-ITS 1.0 ini menjadi awal yang bagus untuk perkembangan mobil listrik di Indonesia. Pasalnya, saat ini pemerintah sedang mengembangkan proyek mobil listrik nasional (Molinas) yang digawangi oleh lima perguruan tinggi nasional. 
Mereka adalah Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Sebelas Maret (UNS). 

Istilah EC-ITS 1.0 sendiri diambil dari filosofi mobil listrik itu sendiri. Kata EC yang dibaca easy memiliki makna bahwa membuat mobil listrik itu mudah jika kita mau. Sedangkan kata ITS 1.0 mengartikan bahwa mobil listrik ini karya anak ITS versi pertama. 

Nuh turut berpesan agar ITS tidak hanya melakukan penelitian untuk mengembangkan mobil ini saja. Namun, pemberian edukasi kepada masyarakat juga perlu dilakukan. ''Jika masyarakat dan kampus mampu bersinergi, bangsa Indonesia pasti bisa maju,'' tuturnya. Sementara itu, Rektor ITS, Prof Dr Ir Tri Yogi Yuwono DEA mengatakan munculnya mobil listrik ini juga menjadi bukti bahwa insinyur-insinyur muda Indonesia sangat berkualitas. 
Mereka hanya perlu diberi kesempatan lebih untuk menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya. ''Saya percaya insinyur muda mampu memajukan bangsa,'' ujar dosen Jurusan Teknik Mesin tersebut. 

 

Untuk komponen utama dari EC-ITS 1.0 sendiri hampir seluruhnya buatan anak ITS. Mulai dari sistem penggerak, platform, body design, hingga sistem kontrol. Hanya baterai dan motor saja yang terpaksa harus beli karena penelitian yang dilakukan masih belum selesai. ''Nantinya seluruh komponen mobil ini murni dari ITS,'' jelas Dr Muhammad Nur Yuniarto, dosen pembimbing proyek EC-ITS 1.0. Namun, untuk daya dari mobil listrik ini, Nur menjelaskan baru dapat menampung lima kilowatt per jam . 
Sehingga, kecepatan maksimum yang dapat dicapai hanya sekitar 40 kilometer per jam. ''Kami akan terus mengembangkan mobil ini hingga nantinya mampu mencapai kecepatan 80 kilometer per jam,'' tutur dosen jurusan Teknik Mesin ITS tersebut. Meskipun secara fundamental mobil listrik sudah sangat baik, alumnus Jurusan Teknik Mesin ITS ini tidak menyarankan melakukan test drive di jalan umum. 
Pasalnya, masih banyak kekurangan dan kelemahan yang perlu disempurnakan hingga nantinya layak untuk digunakan secara massal. ''Yang paling penting, unsur safety harus diprioritaskan,'' ujarnya. (ali/ran) 

(Sumber)
Selengkapnya...

SAHABAT@1NDOTECH

1NDOTECH BLOG LIST

alexa