KOMPAS.com - Di tengah kebuntuan memenuhi permintaan energi yang makin meningkat, teknologi Geo Coal muncul. Teknologi tersebut mampu mengubah batubara peringkat rendah (low rank coal) yang kini kurang dimanfaatkan menjadi sumber energi yang murah, efisien, sekaligus lebih ramah lingkungan.
Teknologi Geo Coal ini dikembangkan oleh Ir Harsudi Supandi, peneliti energi sekaligus Presiden Direktur Total Synergy International (TSI). Peluncuran teknologi yang kini telah memasuki proses paten tersebut dilakukan hari ini, Rabu (20/4/2011), di Grand Hyatt Hotel, Jakarta.
Harsudi mengungkapkan, ada dua jenis batubara. Jenis pertama adalah batubara peringkat tinggi (high rank coal) yang punya kandungan air rendah, konten energi tinggi, kalori tinggi dan lebih efisien dalam pembakaran. "Jenis batubara inilah yang sekarang dimanfaatkan," kata Harsudi.
Jenis kedua adalah batubara peringkat rendah. Batubara jenis ini memiliki kadar air tinggi atau hampir 80 persen, konten energi dan kalori yang rendah dan kurang efisien. Jenis low rank coal biasanya lunak, mudah pecah atau rekah, mudah menjadi bubuk dan mudah habis terbakar tak terkendali.
Sepintas, mengolah batubara peringkat rendah seperti tak berprospek. Namun, bila ditilik lagi, batubara peringkat rendah ternyata punya kelebihan. Jumlah batubara peringkat rendah masih melimpah dan memiliki kandungan sulfur dan abu yang rendah.
"Kalau itu bisa dimanfaatkan, nilai gunanya bisa tinggi," cetus Harsudi. Menurut Harsudi, kini berbagai negara berlomba untuk meng-upgrade batubara tingkat rendah sehingga bisa dimanfaatkan, terutama karena menipisnya cadangan minyak dan kekhawatiran akan energi nuklir.
Teknologi Geo Coal yang dikembangkan Harsudi pada dasarnya merupakan proses meningkatkan kalori batubara peringkat rendah. Proses peningkatan tersebut dilakukan melalui beberapa tahap, meliputi persiapan, penghancuran batubara, pengeringan, setting, dan berakhir dengan pendinginan.
Dalam proses penghancuran, batubara diubah menjadi ukuran lebih kecil, antara 5-50 cm. Sementara, pada proses pengeringan, kadar air dalam batubara peringat rendah dikurangi dengan menggunakan gassification burner. Setelah proses ini, dikatakan kadar air bisa berkurang 60-80 persen.
"Proses selanjutnya, yaitu setting, adalah inti dari proses upgrading ini," kata Harsudi. Dalam proses ini, dilakukan modifikasi gabungan dari Hardgrove Grindability Index (HGI), konten materi yang mudah terbakar dan debu atau ash dari batubara.
Harsudi mengatakan, teknologi Geo Coal mampu meningkatkan kalori batubara hingga 50-100 persen. Selain itu, proses upgrading yang dilakukan juga bisa mempertahankan kadar sulfur dan ash tetap rendah sehingga batubara yang dihasilkan nantinya lebih ramah lingkungan.
Teknologi Geo Coal yang dikembangkan berbeda dengan proses upgrading lain, seperti UBC (Upgrade Brown Coal). Harsudi mengatakan, "Kalau UBC itu kan intinya pada pengeringan dan briket. Sementara kalau Geo Coal ini intinya pada pengeringan dan setting."
Dengan Geo Coal, upgrading batubara lebih efisien. "Ongkosnya itu hanya 10 juta dollar per ton produk. Rational cost-nya 4-5 dollar per ton produk dalam skala besar. Bisa dibandingkan sendiri kalau UBC berapa," jelas Harsudi yang sebelumnya juga menciptakan teknologi gassification burner.
Geo coal memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan teknologi lain. "Produknya lebih ramah lingkungan. Batubara peringkat tinggi itu kandungan sulfurnya sampai 12 persen, sementara peringkat rendah itu kurang jadi 1 persen. Jadi ini low polluting," ungkapnya.
Teknologi tersebut juga tak terbatas pada upgrading batubara, tetapi juga untuk biomass, bambu, kayu dan bahkan sampah. Dengan pengurangan kadar air, biaya transportasi yang dibutuhkan juga lebih rendah. Dan paling penting, teknologi ini jauh lebih murah.
Saat ini, TSI sudah menandatangani kerjasama dengan PLN untuk menggunakan Geo Coal di salah satu pembangkit tenaga listriknya di Banten. TSI juga bersepakat dengan Agritrade Resources Limited untuk membangun pabrik komersil Geo Coal berkapasitas 500.000 metrik ton per tahun di lokasi Tamiang Layang, Kalimantan Tengah Juni 2011.
Harsudi mengatakan, pengembangan Geo Coal merupakan solusi ketika energi minyak menipis dan energi terbarukan belum bisa diandalkan. Teknologi tersebut juga mendukung pengadaan sumber energi murah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.
(Sumber)
Jenis kedua adalah batubara peringkat rendah. Batubara jenis ini memiliki kadar air tinggi atau hampir 80 persen, konten energi dan kalori yang rendah dan kurang efisien. Jenis low rank coal biasanya lunak, mudah pecah atau rekah, mudah menjadi bubuk dan mudah habis terbakar tak terkendali.
Sepintas, mengolah batubara peringkat rendah seperti tak berprospek. Namun, bila ditilik lagi, batubara peringkat rendah ternyata punya kelebihan. Jumlah batubara peringkat rendah masih melimpah dan memiliki kandungan sulfur dan abu yang rendah.
"Kalau itu bisa dimanfaatkan, nilai gunanya bisa tinggi," cetus Harsudi. Menurut Harsudi, kini berbagai negara berlomba untuk meng-upgrade batubara tingkat rendah sehingga bisa dimanfaatkan, terutama karena menipisnya cadangan minyak dan kekhawatiran akan energi nuklir.
Teknologi Geo Coal yang dikembangkan Harsudi pada dasarnya merupakan proses meningkatkan kalori batubara peringkat rendah. Proses peningkatan tersebut dilakukan melalui beberapa tahap, meliputi persiapan, penghancuran batubara, pengeringan, setting, dan berakhir dengan pendinginan.
Dalam proses penghancuran, batubara diubah menjadi ukuran lebih kecil, antara 5-50 cm. Sementara, pada proses pengeringan, kadar air dalam batubara peringat rendah dikurangi dengan menggunakan gassification burner. Setelah proses ini, dikatakan kadar air bisa berkurang 60-80 persen.
"Proses selanjutnya, yaitu setting, adalah inti dari proses upgrading ini," kata Harsudi. Dalam proses ini, dilakukan modifikasi gabungan dari Hardgrove Grindability Index (HGI), konten materi yang mudah terbakar dan debu atau ash dari batubara.
Harsudi mengatakan, teknologi Geo Coal mampu meningkatkan kalori batubara hingga 50-100 persen. Selain itu, proses upgrading yang dilakukan juga bisa mempertahankan kadar sulfur dan ash tetap rendah sehingga batubara yang dihasilkan nantinya lebih ramah lingkungan.
Teknologi Geo Coal yang dikembangkan berbeda dengan proses upgrading lain, seperti UBC (Upgrade Brown Coal). Harsudi mengatakan, "Kalau UBC itu kan intinya pada pengeringan dan briket. Sementara kalau Geo Coal ini intinya pada pengeringan dan setting."
Dengan Geo Coal, upgrading batubara lebih efisien. "Ongkosnya itu hanya 10 juta dollar per ton produk. Rational cost-nya 4-5 dollar per ton produk dalam skala besar. Bisa dibandingkan sendiri kalau UBC berapa," jelas Harsudi yang sebelumnya juga menciptakan teknologi gassification burner.
Geo coal memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan teknologi lain. "Produknya lebih ramah lingkungan. Batubara peringkat tinggi itu kandungan sulfurnya sampai 12 persen, sementara peringkat rendah itu kurang jadi 1 persen. Jadi ini low polluting," ungkapnya.
Teknologi tersebut juga tak terbatas pada upgrading batubara, tetapi juga untuk biomass, bambu, kayu dan bahkan sampah. Dengan pengurangan kadar air, biaya transportasi yang dibutuhkan juga lebih rendah. Dan paling penting, teknologi ini jauh lebih murah.
Saat ini, TSI sudah menandatangani kerjasama dengan PLN untuk menggunakan Geo Coal di salah satu pembangkit tenaga listriknya di Banten. TSI juga bersepakat dengan Agritrade Resources Limited untuk membangun pabrik komersil Geo Coal berkapasitas 500.000 metrik ton per tahun di lokasi Tamiang Layang, Kalimantan Tengah Juni 2011.
Harsudi mengatakan, pengembangan Geo Coal merupakan solusi ketika energi minyak menipis dan energi terbarukan belum bisa diandalkan. Teknologi tersebut juga mendukung pengadaan sumber energi murah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.
(Sumber)
0 comments:
Posting Komentar